Halo Fisika!

Jangan pernah membenci sesuatu secara berlebihan. Karena apa yang kau benci bisa saja harus kau hadapi di masa depan.

Jaman sekolah, pelajaran fisika menjadi salah satu momok menakutkan buat saya. Bukan karena gurunya yang killer, guru fisika SMA saya sudah berbaik hati menjelaskan rumus ngejlimet itu dengan cara sederhana. Hanya memang logika saya saja yang tidak sampai ke sana. Apa gunanya belajar hukum Archimedes coba? Biar bisa teriak "Eureka!" ?

Jadi, kalau saya bisa lulus SMA dengan nilai fisika tujuh koma, itu berkat Allah Yang Maha Kuasa. Ia mengirimkan bantuan berupa teman-teman yang sayang sama saya. Seringnya belajar bersama sebelum ujian, sehingga saya bisa mengerjakan soal-soal yang serupa. Asal ga diganti rumusnya.

Jaman kuliah lebih parah. Saya pikir tak perlu belajar fisika saat menjadi mahasiswa IPB. Saya salah. Sangat salah. Pada Tingkat Persiapan Bersama (TPB), saya tetap harus menggeluti warisan Newton dkk. Saya sering tertidur di kelas kalau otak sudah dong. Beruntung tidak ada apel yang jatuh ke kepala saya. Lagi-lagi atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan keinginan luhur lah saya bisa lulus pelajaran ini. Di tahun kedua dan seterusnya barulah saya bisa bercerai dengan fisika.

Dan sekarang, setelah bertahun-tahun pisah ranjang, saya harus kembali menggauli fisika. Adalah liputan energi terbarukan yang jadi musababnya. PLTA, PLTN, PLTH dan PLTMH, sebut saja semuanya. Saya (sok) mengerti hubungan head and flow. Atau perbedaan screw turbin, propeller turbin, dan zuppinger turbin. Atau mekanisme pengisian solar cell. Atau cara kerja reaktor nuklir. Padahal mah.. mboh ora mudheng blas.

Banyak yang harus dipelajari. Banyak yang harus digali. Gunakan otak kiri untuk mengerti. Aktifkan otak kanan untuk imajinasi. Lalu menulislah dengan hati. Saya bisa menikmati fisika. Saya pasti bisa. Semoga Galileo tersenyum dari atas sana saat meneropong saya. Bismillah. (Kartika Restu Susilo)

No comments:

Post a Comment