Ketika Hujan Bersanding dengan Matahari

"Ade, buku yang kamu bilang bagus itu siapa pengarangnya? Judulnya apa?" tanyaku di suatu senja. Galau menuntunku ke toko buku, berusaha mencari ilmu atas apa yang aku rasa. Aku lantas bertanya pada Ade, teman kosanku. Beruntung ia berbaik hati memberi referensi sebuah buku untuk mengobati pilu. Sayang aku lupa pengarang dan judulnya.

"Kurniawan Gunadi mbak, judulnya Hujan Matahari," jawab Ade via SMS. 
"Koq di Gramedia ga ada ya? Udah aku cari-cari," balasku 30 menit kemudian. 
"Emang ga dijual di sana mbak. Harus pre order. Kalau mbak mau baca, nanti malam aku pinjemin. Kebetulan udah dibalikin temanku," balas Ade.

Huuffh, baiklah. Balik kanan bubar jalan. Semoga buku itu benar-benar bagus, gumamku.
***

Malam itu hujan turun amat deras. Lebih deras dari biasanya. Ah aku lupa bilang kalau aku tinggal di Kota Hujan, kota di mana matahari hanya bekerja sampai pukul 4 sore sebelum shiftnya digantikan hujan. Dan ketika aku membaca daftar isi buku itu, aku tertawa tertahan, kenapa tidak ada bab "Badai"? Itu sesuai cuaca malam ini. 

Aku tak memperlakukan buku Hujan Matahari layaknya novel yang harus dibaca dari awal, lembar demi lembar. Tidak. Buku itu aku buka secara acak, sampai menemukan judul yang enak. Dan ketika aku membaca "Surat", seketika hatiku tercekat. Ah, harusnya kau membaca ini, duhai lelaki baik hati. Kau sudah berhasil menumbuhkan apa yang tidak kau tanam. Harusnya kau baca ini! Apa aku kirim saja surat ini padamu, agar kau tidak melukai wanita lain dengan kebaikanmu?

Sungguh, Hujan Matahari seolah meneriakkan apa yang tak berani batinku ungkapkan. Untaian kata seorang Kurniawan Gunadi benar-benar merasuk tajam, menembus jiwa hingga sampai pada logika. Membaca buku ini saat galau, entah bagaimana bisa membuat hatiku sedikit tenang. Tulisan-tulisan di bab "Hujan" laksana oase bagi jiwa yang kering. "Nilai-nilai dan Perempuan" serta "Kehidupan di Luar Dirimu" menjadi tamparan buatku, bahwa hidup tak melulu soal cinta dan rasa. Mungkin Tuhan tahu aku perlu ditampar agar sadar. 

Percayalah, bila masalah hidupmu masih seputar patah hati, dicuekin laki-laki, dibiarkan perempuan, lantas kamu merasa menjadi manusia paling merana di dunia, pecahkanlah semua cermin di rumahmu karena cermin itu menjadi tidak berguna. Jleb! Aku hampir memecahkan satu-satunya cermin di kamarku andai kata-kata itu tidak menusuk kalbu. Aku tak tahu belajar sihir di mana seorang Kurniawan Gunadi. Kata-kata yang ia tulis sanggup menggugah hati. Logika dan perasaan berbaur dalam satu tulisan, layaknya hujan dan matahari. Buku ini berkisah tentang cinta, perasaan, dan kehilangan; kehidupan dan kematian; masa lalu, sekarang, dan nanti. Setiap bait harus kubaca dengan pelan, berulang, dan hati-hati, karena banyak sekali pesan yang tersembunyi. 

Terimakasih Hujan Matahari, berkatmu hatiku masih bisa tersenyum meski patah dan berduri. (Kartika Restu Susilo)

No comments:

Post a Comment