Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa

Saya mengetahui pameran ini dari postingan facebook Pak Anies Baswedan. Pak Menteri Pendidikan Dasar itu menyarankan untuk belajar sejarah dari kesenian, salah satunya seni lukis. Pameran ini bertema “Aku Diponegoro: Sang Pangeran Dalam Ingatan Bangsa”. Bekerja sama dengan Goethe Institut, pemerintah Indonesia akhirnya berhasil merestorasi lukisan Raden Saleh yang bertajuk “Penangkapan Pangeran Diponegoro”. 

Lukisan yang dibuat tahun 1857 itu rencananya akan dipajang di Galeri Nasional bersamaan dengan karya-karya lain yang berhubungan dengan Pangeran Diponegoro. Awalnya saya berniat datang sendiri ke Galeri Nasional. Namun niat saya terendus Lutfi, teman saya yang hobi melukis. Jadilah kami berdua meluncur ke Jakarta di Sabtu cerah yang indah. Yup, langit benar-benar cerah Sabtu lalu. Kami mengambil rute KRL turun di Stasiun Gondangdia. Dari depan stasiun, kami melanjutkan perjalanan ke Galeri Nasional dengan metromini P20. Pak supir yang baik hati menurunkan kami di depan stasiun Gambir, Galeri Nasional tepat berada di seberangnya. 

Kami tiba di sana pukul 12.30 bersamaan dengan kedatangan serombongan anak SMA. Antrian depan pintu masuk museum pun sudah mengular. Pak satpam yang menjaga berteriak agar kami menitipkan tas sebelum masuk. Ketika menitipkan tas, mata kami tertumbuk pada jadwal pementasan teater koma yang dipajang di sebelah konter penitipan tas. Beruntungnya, jadwal pementasan hari itu pukul 13.00. Jadi kami memutuskan untuk menunaikan shalat Dzuhur dan menonton Teater Koma, baru masuk ke dalam galeri. 

Pementasan Teater Koma mengambil tema Kyai Gentayu, kuda Pangeran Diponegoro. Para pemain bermain apik sekali. Sumpah keren banget! Alur cerita, dialog, akting, musik, kostum, dan tarian berpadu jadi satu menghasilkan pertunjukkan yang berkesan. Pentas selama 30 menit itu pun sukses membuat mata saya berkaca-kaca mengenang perjuangan nenek moyang melawan penjajah. 

Selesai pertunjukkan, kami mengunjungi hall B. Di sana dijelaskan mengenai proses restorasi yang dilakukan terhadap lukisan. Saat ditemukan, lukisan berusia 150 tahun itu sudah menguning sehingga warna aslinya tidak bisa dikenali. Tim kurator dari Jerman lah yang berhasil memulihkan keadaan lukisan itu sehingga layak dipajang. Proses restorasinya sendiri memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Hampir Rp400-juta untuk merestorasi 3 lukisan! 

Kami kembali ke aula depan Galeri untuk mengantri masuk. Sebelumnya, kami berfoto dulu dengan para pemain dari Teater Koma. Jadi kami mendapat antrian di belakang anak-anak SMA. Karena kami sudah tahu peraturan dilarang membawa tas ke dalam Galeri, kami pun menitipkan tas sebelum antri. Di depan kami, banyak anak SMA yang belum menitipkan tasnya. Itu menjadi berkah tersendiri ketika pintu masuk Galeri dibuka. Anak-anak SMA itu berbelok ke penitipan tas alih-alih masuk Galeri. Jadi kami bias memotong antrian dan masuk Galeri lebih cepat dari seharusnya. 

Di dalam Galeri, kami menikmati beragam lukisan dan karya seni yang berkaitan dengan Pangeran Diponegoro. Lukisan Raden Saleh yang menjadi main center pameran ini diletakkan di tengah ruangan. Menurut Pak Satpam, konon harga lukisan ini mencapai Rp7-miliar. Pengunjung dilarang menyentuh lukisan, tetapi mengambil foto diperbolehkan. Lukisan ini menggambarkan keadaan Pangeran Diponegoro saat ditangkap Belanda. Meski sudah ditangkap, wajah Sang Pangeran tetap mendongak ke atas dan tidak menunduk pasrah. Raden Saleh menyindir prajurit Belanda dengan melukis wajah congkak mereka lebih besar daripada proporsi seharusnya. Detail kesedihan rakyat yang menyaksikan penangkapan itu terlihat jelas. Saya yang memandangnya juga jadi ikut sedih… 

Lukisan-lukisan lain juga menarik untuk dilihat. Masterpiece lain yang kami lihat adalah lukisan glow in the dark. Saat lampu dinyalakan, lukisan itu serupa dengan lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro”. Namun, saat lampu padam, kami melihat lukisan lain yang benar-benar berbeda. Kami harus bertanya satu sama lain untuk memastikan itu bukan halusinasi. 

Adapula benda-benda peninggalan Pangeran Diponegoro seperti tombak dan pelana kuda yang Beliau gunakan saat berperang. Konon, penyitaan tombak oleh Belanda menjadi salah satu alasan pertahanan Pangeran melemah. Tombak itu sempat berada di negeri Belanda sekian lama. Ratu Wilhemia mengembalikan tombak itu ke Indonesia sebagai bagian dari perjanjian penyerahan pusaka Negara. 

Karena pengunjung membludak, satu kloter hanya dibatasi 15 menit berada di dalam Galeri. Setelah itu satpam akan mengusir keluar. Mana cukup! So, kami memutuskan untuk masuk lagi dengan cara menyelinap di antara anak-anak SMA, yang lagi-lagi belum menitipkan tasnya. Jangan ditiru yaa.. haha Pameran lukisan ini berlangsung dari 6 Februari hingga 8 Maret 2015. Tiket masuknya gratis. So, yang weekend bingung mau kemana, berkunjung ke pameran ini bisa jadi alternatif kegiatan (kalau Jakarta ga banjir yaaa). Belum tentu besok-besok bisa melihat lukisan Raden Saleh yang terkenal hingga mancanegara, gratis lagi. (Kartika Restu Susilo)

No comments:

Post a Comment