Balada Tabung Gas

Tek! Wuuuusssshhhh...
Blup blup blup....

Aku mendesah keras. Kompor gas yang aku nyalakan hanya memancarkan api sekejap, lalu mati. Ketika aku cek, indikator gas sudah menunjuk zona merah. Di kosan ini, kami bergiliran membeli gas. Kali ini jatahku untuk mengisi tabung gas.

Beli gas di mana? batinku.

Maklum saja, belum genap sebulan aku pindah ke kota ini. Jadi aku belum tau di mana toko yang menjual tabung gas 3 kilo. Aku pun memberanikan diri bertanya ke teman kos.


“Sar.. Sari..” kuketuk kamar kos Sari sambil memanggil namanya.
“Ya mbak?” tanya Sari, kepalanya menyembul dari balik pintu.
“Kamu tau beli gas di mana? Gasnya habis. Ini aku jadi ga bisa masak”.
“Oh, biasanya di Pak Rudi, mbak. Yang di ujung gang itu,” kata Sari.
“Pak Rudi biasanya buka toko siang. Padahal besok aku seharian di kampus. Aku boleh titip uang ke kamu? Tolong belikan gas,” ujarku.
“Yaah aku juga kuliah pagi mbak,” kata Sari, “atau titip Ibu Kos? Kan dia seharian di rumah”.
“Ya coba aku besok tanya Ibu Kos,” aku menyetujui usul Sari.

Aku pun masuk kembali ke kamar. Hilang sudah harapan bisa memasak makan malam, terpaksa gigit jari karena anggaran makanku terbatas. Mau beli, mahal.

***

Keesokan paginya, lagi-lagi aku menggerutu karena tak bisa memasak untuk sarapan. Sambil menahan lapar, aku mengetuk rumah Ibu Kos yang berada persis di samping kosan. Kedua rumah ini terhubung lewat pintu belakang yang tidak pernah ditutup.

Saat Ibu Kos membuka pintu, aku mencium semerbak telur ceplok. Ibu Kos pandai memasak sehingga ia membuka jasa catering. Seminggu awal, aku berlangganan catering padanya. Enak sih, tapi menurutku terlalu mahal. Dengan Rp15.000 aku hanya mendapat lauk usus ayam. Padahal, di warteg dekat kampus, aku bisa makan paha ayam goreng dengan harga yang sama.

“Permisi Bu. Ini gas habis. Kalau mau beli di mana ya?” tanyaku.
“Oh di Pak Rudi mbak,” jawab Ibu Kos. Tangannya sibuk menggoreng telur.
“Pak Rudi biasanya buka siang, Bu. Kalau nitip uang ke Ibu bagaimana? Soalnya saya kuliah pagi. Kasian mbak-mbak yang lain jadi nggak bisa masak kalau nunggu saya pesankan. Ini uangnya saya kasih,” ujarku.
“Oohh.. ndak bisa eee mbak. Soalnya sama Pak Rudi musti nunggu lama, antri. Mbak kan tau gas 3 kilo itu subsidi, jadi antrinya lama. Saya aja antri belum dapat, ini tabung saya juga sudah mau habis. Gini aja, mbak ke Pak Rudi aja langsung, pesan sendiri”.
“Oh gitu ya Bu. Ya sudah terima kasih”.

Aku balik badan dengan kesal. Ibu Kos nih gimana sih, tadi kan aku udah bilang kalau aku kuliah pagi. Mana sempatlah aku ke Pak Rudi beli gas. Masa’ dimintain tolong gitu aja nggak mau.

Sepanjang hari itu, aku kuliah dengan perasaan campur aduk: kesal sama Ibu Kos yang enggan dimintai tolong; bingung beli gas di mana; dan khawatir teman-teman kosan marah karena aku tak segera mengganti gas dengan yang baru. Aku pun sulit berkonsentrasi mendengarkan dosen.

***
Setelah jam kuliah sore berakhir, aku segera memacu motorku untuk ke toko Pak Rudi, takut keburu tutup.
“Sore Pak, mau beli gas,” kataku.
“Tabung berapa? Kalau 3 kilo tidak ada, habis,” kata Pak Rudi.
“Yaah, ada lagi kapan?” tanyaku.
“Hari Senin mbak. Antri,” jawab Pak Rudi.

Senin masih lima hari lagi. Tak mungkin aku menunggu selama itu. Aku pun segera menjalankan motor setelah pamit pada Pak Rudi. Sesorean aku mencari tabung gas, berkeliling keluar masuk gang. Sulit sekali menemukan tabung gas 3 kilo di kota ini.

Menjelang senja, barulah aku menemukan toko yang menjual tabung gas 3 kilo. Sayangnya toko itu tidak bisa mengantar tabung ke kosan.

“Balik lagi ke kosan, mbak. Bawa tabungnya ke sini,” titah bapak penjaga toko.

Aku kembali menggerutu. Ya Tuhan, susah banget sih beli gas di sini. Beda banget sama di kota asalku. Tinggal telepon, lalu tabung gas pun datang. Terpaksa aku pulang dulu ke kosan untuk mengambil tabung kosong dan menukarnya dengan yang masih berisi. Ribet juga ternyata bawa tabung gas sambil nyetir motor. Tapi tak apa, yang penting aku sudah dapat gasnya. Tinggal balik ke kosan dan akupun bisa kembali memasak.

Setelah aku selesai memasang katup di tabung gas, Ibu Kos menghampiriku. “Oh sudah beli tabung ya mbak? Di mana belinya? Gas saya juga sudah habis nih. Padahal saya punya tabung gas dua, tapi dua-duanya habis,” kata Ibu Kos sambil tersenyum manis.

Bodo amat kalau gas dia habis dua-duanya, siapa suruh ga nyetok. “Jauh Bu. Ini tadi muter-muter nyarinya,” jawabku pendek. Aku terlalu lelah dan lapar untuk berbasa-basi.

***
Keesokan paginya, aku menemukan sepanci besar hati ayam di atas kompor. Apinya besar sekali sehingga airnya mendidih dan hampir meluap. Ini pasti catering Ibu Kos. Aku pun masuk kamar mandi untuk mencuci muka.  Ketika aku keluar, aku berinisiatif mematikan kompor. Sudah mendidih, batinku.

Petaka datang ketika aku kembali ke dapur untuk membuat sarapan. Ibu Kos sudah berdiri di depan kompor.
“YA AMPUN, INI KENAPA DIMATIKAN? PELIT BANGET SIH, SAYA KAN CUMA MASAK SEDIKIT. INI JUGA BARU SEKALI?” Ibu Kos langsung nyerocos tanpa henti begitu melihatku.

Cuma?! Itu sepanci besar hati ayam loh, masaknya lama kalau mau empuk. Belum lagi telur di tangan Ibu, ada kali selusin. Belum itu tahu mau dimasak apa?! teriakku dalam hati. Aku kesal!

“Susah loh Bu, cari gasnya. Saya sampai keliling-keliling sesorean kemarin. Tadi sudah mendidih, jadi saya matikan,” kataku menahan emosi.

“YA KAN SAYA GASNYA JUGA HABIS! SAYA BARU MAU BELI SIANG INI. EMANG ADA TOKO YANG BUKA PAGI GINI?”

“Ya kalau gitu Ibu izin dulu, bilang mau minta gas. Saya kemarin juga jadi ga bisa masak sarapan”.

“YA MBAK KAN BISA MINTA KE SAYA, BIASANYA JUGA GITU!”

“Ya kan saya belum biasa Bu!” ujarku tajam. Dan harusnya jangan dibiasain, tambahku dalam hati. Aku pun segera beranjak ke kamarku. Sungguh aku malas sekali ngedrama pagi-pagi, cukuplah kemarin aku dipusingkan urusan pergas-an.


Di dalam kamar, aku menangis. Astagaaa, pagi-pagi sudah bikin emosi. Mengingat seharian kelaparan dan perjuanganku mencari tabung gas kemarin, rasanya aku tak rela kalau Ibu Kos memakai gas sebanyak itu untuk memasak catering. TANPA IZIN PULA. Udah gitu galakan dia marahnya.

Setelah agak tenang, aku menyadari kesalahanku, seharusnya aku bisa menegor tanpa perlu mematikan kompor gas. Ga ikhlas sih, tapi aku tak perlu mematikan keran rejeki orang lain kan? Gimana kalau masakan Ibu Kos jadi ga enak karena kurang empuk?

Akhirnya aku melapangkan hati dan kembali ke dapur untuk meminta maaf.
“Ibu, maaf yaa tadi saya matikan kompornya. Soalnya tadi apinya besar banget, dan sudah mendidih. Jadi saya matikan,” kataku.
“Ya mbak, saya juga minta maaf. Saya salah ga izin. Tadi saya sudah niat izin, tapi saya pikir mbak belum bangun. Saya juga seharusnya ga boleh marah-marah sebagai Ibu Kos,” katanya.
“Oh saya biasanya bangun jam 4 koq Bu, sebelum adzan Subuh,” kataku.
“Ya mbak, maaf ya. Ini hari ini aja numpang masak di sini. Nanti siang saya minta tolong suami untuk carikan gas,” katanya.

Semoga dapat gasnya ya Bu, batinku.

No comments:

Post a Comment